by : firstiawan gunawan on JULI ,07,2013
"Memang, kalau cinta butuh alasan, Bang?" - Edgar
Cinta
memang tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas sampai kapanpun.
Selalu saja ada sisi yang menarik untuk dikulik meski sejatinya apa yang
dibicarakan tidak terlampau jauh berbeda dengan yang sudah-sudah.
Raditya Dika – serta ribuan penulis lainnya di luar sana – melihat
potensi yang besar apabila menggarap kisah yang berkaitan dengan
percintaan. Lebih mengasyikkan lagi... jika itu berdasarkan pengalaman
pribadi. Di era ketika ‘menggalau’ – terutama dalam urusan asmara –
seolah telah menjadi makanan pokok sehari-hari, maka tidak ada yang
lebih tepat lagi dari menyajikan sebuah hidangan dimana di dalamnya
terkandung elemen-elemen seperti jatuh cinta, penolakan, patah hati, dan
memenangkan hati pasangan, kepada publik (atau dalam hal ini, penonton
muda). Segala hal yang berkaitan dengan suka duka dan pahit manis
kehidupan percintaan ini Dika coba tuangkan dalam film teranyarnya, Cinta Brontosaurus.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, akankah Cinta Brontosaurus mampu menebus kesalahan Dika sebelumnya di Kambing Jantan?
Well... jika Anda masih ingat, film perdana dari Dika tersebut menerima
resepsi yang beragam dari penikmat film, meski ditilik dari perolehan
angka penonton tergolong sesuai harapan. Saya pribadi pun tak
mendapatkan pengalaman yang menyenangkan kala menyaksikannya, cenderung
hambar dan kelewat bertele-tele. Maka ketika Cinta Brontosaurus
hadir, dan belakangan laris manis di pasaran, saya tidak terlampau
tergugah untuk mencicipinya sekalipun ada nama Fajar Nugros – yang
sebelumnya membuat saya terkesima dengan gaya tuturnya yang unik melalui
Cinta di Saku Celana – di belakang kemudi. Seolah tidak ada lagi kepercayaan kepada Dika. Akan tetapi, setelah mencicipinya langsung, ternyata Cinta Brontosaurus
tidaklah seburuk seperti yang saya duga. Sama sekali tidak buruk malah.
Memang ini bukan sebuah lompatan yang jauh dari film sebelumnya, namun
yang jelas... ini lompatan yang sangat baik. It’s just simply a lot of fun.
Dengan
durasi yang membentang hingga mencapai sekitar 100 menit, ada banyak
kesenangan yang bisa didapat. Dika tidak memancing ‘hiruk pikuk’ berupa
ledakan tawa dengan memanfaatkan lelucon slapstick yang kerap kali
digunakan oleh film lawak kebanyakan. Bangunan komedi dibentuk oleh
situasi yang terjadi di sekitar serta celetukan-celetukan yang
dilontarkan oleh para tokoh. Jelas, yang menjadi obyek ‘ledekan’ di sini
adalah sang tokoh utama (pria) yang kerap kali dirundung kesialan kala
merajut cinta. Ini akan menjadi sesuatu yang lucu dan mengena bagi
mereka yang (a). menggemari guyonan khas Dika, (b). remaja usia belasan
atau awal 20-an, dan (c). senantiasa menggalau tentang cinta (atau dalam
hal ini, mengalami peristiwa serupa). Selain ketiga tipe itu, bisa jadi
tuturan film hanya berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan. Pun
demikian, film tidak melulu menggunjing perihal cinta semata, citra film
horor nasional yang telah benar-benar ternoda pun turut disinggung.
Anda yang mengikuti perkembangan film nasional tentu tahu kan betapa
para dedemit di Indonesia ini telah dieksploitasi sedemikian rupa hingga
melewati batas kededemitan? Menjadi kian tak wajar dan mulai menjurus
ke arah ‘absurdisme’.
Dan
berbicara mengenai absurd... maka film yang untuk urusan naskah digarap
langsung oleh Raditya Dika ini pun bisa dibilang menggagas persoalan
cinta yang ‘aneh’ – dan bisa jadi, absurd – atau memang sengaja dibuat
demikian demi memberi daya tarik terhadap guliran kisah. Setelah
serangkaian patah hati yang diterima, dimulai sejak masih duduk di
bangku SD, Dika pun menciptakan konsep bahwasanya cinta dapat
kadaluarsa. Demi mengembalikan kepercayaan Dika kepada cinta, sang agen,
Kosasih (Soleh Solihun), pun memperkenalkan Dika kepada sejumlah
perempuan. Dan dari sinilah berbagai hal yang unik, aneh, dan tidak
masuk akal itu mulai menyeruak. Lihat saja teman kencan Dika; tante
girang, perempuan yang gemar mengawetkan apapun yang dicintainya, hingga
perempuan yang hendak melahirkan. Tidak ada satu pun dari mereka yang
cocok, hingga sang tokoh utama berkenalan dengan Jessica (Eriska Rein)
melalui sebuah percakapan yang menggelikan (dan tentunya, aneh) di
restoran Jepang. Kala mereka melakukan kencan pun, lokasi yang dipilih
juga sama tidak biasanya; atap pom bensin. Mungkin ada sejumlah penonton
yang melancarkan kritik atau protes, akan tetapi... mau tak mau kudu
diakui, adegan ini sanggup membekas di ingatan. Sebuah adegan ikonik
yang bisa jadi akan masih tetap diingat di tahun-tahun mendatang.
Ditilik dari segi penceritaan, Cinta Brontosaurus
memang sejatinya tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar segar. Yang
menjadikan film menjadi menarik untuk disimak adalah guyonan dari
Raditya Dika yang berkarakter (hingga terkadang menjadikannya ‘segmented’),
upaya Fajar Nugros dalam menerjemahkan tulisan dari Dika hingga
menghasilkan bahasa gambar yang menggoda, tembang-tembang dari HiVi!
yang menyatu dengan sempurna bersama roh film, serta penampilan dari
jajaran pemainnya; sebut saja Soleh Solihun, Ronny P. Tjandra, Pamela
Bowie, dan Meriam Bellina, yang senantiasa mencuri perhatian. Adalah
sebuah keputusan yang tepat bagi Dika untuk tidak sepenuhnya patuh
dengan versi novel serta tak memberikan porsi berlebih untuk drama (yang
mana justru berakhir fatal di Kambing Jantan). Memang pada akhirnya tidak setiap orang bisa menerima gaya bercanda Dika, namun yang jelas, Cinta Brontosaurus
adalah sebuah peningkatan yang memuaskan dari film sebelumnya. Sajian
yang menghibur, menyenangkan, serta (sedikit banyak) romantis berhasil
dihidangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar