CATATAN BLOG FIRSTIAWAN RADCLIFE

Senin, 01 Juli 2013

Review :Cinta Brountosaurus (2013)

 

by : firstiawan gunawan on JULI ,07,2013

"Memang, kalau cinta butuh alasan, Bang?" - Edgar

Cinta memang tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas sampai kapanpun. Selalu saja ada sisi yang menarik untuk dikulik meski sejatinya apa yang dibicarakan tidak terlampau jauh berbeda dengan yang sudah-sudah. Raditya Dika – serta ribuan penulis lainnya di luar sana – melihat potensi yang besar apabila menggarap kisah yang berkaitan dengan percintaan. Lebih mengasyikkan lagi... jika itu berdasarkan pengalaman pribadi. Di era ketika ‘menggalau’ – terutama dalam urusan asmara – seolah telah menjadi makanan pokok sehari-hari, maka tidak ada yang lebih tepat lagi dari menyajikan sebuah hidangan dimana di dalamnya terkandung elemen-elemen seperti jatuh cinta, penolakan, patah hati, dan memenangkan hati pasangan, kepada publik (atau dalam hal ini, penonton muda). Segala hal yang berkaitan dengan suka duka dan pahit manis kehidupan percintaan ini Dika coba tuangkan dalam film teranyarnya, Cinta Brontosaurus. 


Yang menjadi pertanyaan sekarang, akankah Cinta Brontosaurus mampu menebus kesalahan Dika sebelumnya di Kambing Jantan? Well... jika Anda masih ingat, film perdana dari Dika tersebut menerima resepsi yang beragam dari penikmat film, meski ditilik dari perolehan angka penonton tergolong sesuai harapan. Saya pribadi pun tak mendapatkan pengalaman yang menyenangkan kala menyaksikannya, cenderung hambar dan kelewat bertele-tele. Maka ketika Cinta Brontosaurus hadir, dan belakangan laris manis di pasaran, saya tidak terlampau tergugah untuk mencicipinya sekalipun ada nama Fajar Nugros – yang sebelumnya membuat saya terkesima dengan gaya tuturnya yang unik melalui Cinta di Saku Celana – di belakang kemudi. Seolah tidak ada lagi kepercayaan kepada Dika. Akan tetapi, setelah mencicipinya langsung, ternyata Cinta Brontosaurus tidaklah seburuk seperti yang saya duga. Sama sekali tidak buruk malah. Memang ini bukan sebuah lompatan yang jauh dari film sebelumnya, namun yang jelas... ini lompatan yang sangat baik. It’s just simply a lot of fun. 
Dengan durasi yang membentang hingga mencapai sekitar 100 menit, ada banyak kesenangan yang bisa didapat. Dika tidak memancing ‘hiruk pikuk’ berupa ledakan tawa dengan memanfaatkan lelucon slapstick yang kerap kali digunakan oleh film lawak kebanyakan. Bangunan komedi dibentuk oleh situasi yang terjadi di sekitar serta celetukan-celetukan yang dilontarkan oleh para tokoh. Jelas, yang menjadi obyek ‘ledekan’ di sini adalah sang tokoh utama (pria) yang kerap kali dirundung kesialan kala merajut cinta. Ini akan menjadi sesuatu yang lucu dan mengena bagi mereka yang (a). menggemari guyonan khas Dika, (b). remaja usia belasan atau awal 20-an, dan (c). senantiasa menggalau tentang cinta (atau dalam hal ini, mengalami peristiwa serupa). Selain ketiga tipe itu, bisa jadi tuturan film hanya berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan. Pun demikian, film tidak melulu menggunjing perihal cinta semata, citra film horor nasional yang telah benar-benar ternoda pun turut disinggung. Anda yang mengikuti perkembangan film nasional tentu tahu kan betapa para dedemit di Indonesia ini telah dieksploitasi sedemikian rupa hingga melewati batas kededemitan? Menjadi kian tak wajar dan mulai menjurus ke arah ‘absurdisme’. 

Dan berbicara mengenai absurd... maka film yang untuk urusan naskah digarap langsung oleh Raditya Dika ini pun bisa dibilang menggagas persoalan cinta yang ‘aneh’ – dan bisa jadi, absurd – atau memang sengaja dibuat demikian demi memberi daya tarik terhadap guliran kisah. Setelah serangkaian patah hati yang diterima, dimulai sejak masih duduk di bangku SD, Dika pun menciptakan konsep bahwasanya cinta dapat kadaluarsa. Demi mengembalikan kepercayaan Dika kepada cinta, sang agen, Kosasih (Soleh Solihun), pun memperkenalkan Dika kepada sejumlah perempuan. Dan dari sinilah berbagai hal yang unik, aneh, dan tidak masuk akal itu mulai menyeruak. Lihat saja teman kencan Dika; tante girang, perempuan yang gemar mengawetkan apapun yang dicintainya, hingga perempuan yang hendak melahirkan. Tidak ada satu pun dari mereka yang cocok, hingga sang tokoh utama berkenalan dengan Jessica (Eriska Rein) melalui sebuah percakapan yang menggelikan (dan tentunya, aneh) di restoran Jepang. Kala mereka melakukan kencan pun, lokasi yang dipilih juga sama tidak biasanya; atap pom bensin. Mungkin ada sejumlah penonton yang melancarkan kritik atau protes, akan tetapi... mau tak mau kudu diakui, adegan ini sanggup membekas di ingatan. Sebuah adegan ikonik yang bisa jadi akan masih tetap diingat di tahun-tahun mendatang. 
Ditilik dari segi penceritaan, Cinta Brontosaurus memang sejatinya tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar segar. Yang menjadikan film menjadi menarik untuk disimak adalah guyonan dari Raditya Dika yang berkarakter (hingga terkadang menjadikannya ‘segmented’), upaya Fajar Nugros dalam menerjemahkan tulisan dari Dika hingga menghasilkan bahasa gambar yang menggoda, tembang-tembang dari HiVi! yang menyatu dengan sempurna bersama roh film, serta penampilan dari jajaran pemainnya; sebut saja Soleh Solihun, Ronny P. Tjandra, Pamela Bowie, dan Meriam Bellina, yang senantiasa mencuri perhatian. Adalah sebuah keputusan yang tepat bagi Dika untuk tidak sepenuhnya patuh dengan versi novel serta tak memberikan porsi berlebih untuk drama (yang mana justru berakhir fatal di Kambing Jantan). Memang pada akhirnya tidak setiap orang bisa menerima gaya bercanda Dika, namun yang jelas, Cinta Brontosaurus adalah sebuah peningkatan yang memuaskan dari film sebelumnya. Sajian yang menghibur, menyenangkan, serta (sedikit banyak) romantis berhasil dihidangkan.

Review The Host (2013)

by : firstiawan gunawan on JULI ,07,2013
20130107-192248
” Choose to believe. Choose to fight. Choose to love. Choose to listen.”
Jika kamu mengira Stephenie Meyer akan berhenti setelah semua kesuksesan luar  biasa yang didapat saga vampirnya? Pikir lagi! Ada The Host sebagai karya terbaru Mayer kembali diadaptasi ke versi live action-nya. Dan dengan segala elemen-elemen romansa ‘aneh’ antara manusia dengan sesuatu yang bukan manusia kamu tentu berpikir bahwa ini akan menjadi Twilight berikutnya, tetapi tahan dulu pikiran itu! Ya, The Host tentu saja sangat berpotensi menjadi the next Twilight tetapi untung saja itu tidak terjadi, kenapa? Pertama ia hanya punya satu buku dan itu bagus jika kemudian ini berakhir buru, lalu yang paling penting ia juga punya seseorang seperti Andrew Niccol di belakanganya, salah satu master sci-fi drama yang pernah membuat Ethan Hawke menjadi astronot dengan segala kekurangannya, menipu hidup Jim Carrey dalam sebuah reality show, menjebak Tom Hanks di bandara JFK sampai yang terakhir ketika ia menjadikan waktu sebagai uang di In Time yang meskipun gagal harus diakui punya ide brilian, dan least but not last ada nama  aktris muda berbakat yang semakin gede, semakin cantik dan semaki bagus saja kualitas aktingnya, terlebih jika kamu mau membandingkannya dengan apa yang sudah dilakukan Kristen Stewart dengan peran Bella Swannya yang kamu tahu bagaimana hasilnya.
Oke, jadi ini yang ditawarkan oleh The Host, sebuah premis yang lebih besar ketimbang percintaan segi tiga antara manusia, vampir dan werewolf. Ada bumi yang sedang diinvasi oleh soul, mahluk asing yang merasuki tubuh setiap manusia, menguasai jiwa dan pikiran mereka. Biasanya setiap manusia yang dihinggapi Soul tidak mampu melawan, dalam artian jiwa mereka binasa, namun ada satu manusia yang melawan, ia adalah Melanie Stryder (Saoirse Ronan) yang meskipun tubuhnya berhasil dikuasai oleh Soul yang disebut Wanderer (yang kemudian menjadi Wanda) namun tidak dengan pikirannya. Yang terjadi kemudian Wanderer merasa iba pada Melanie lalu kemudian berusaha untuk menolong gadis muda itu untuk menepati janjinya bertemu dengan adik dan kekasihnya yang sedang bersembunyi sementara ada alien lain, Seeker (Diane Kruger) yang bernafsu untuk menumpas semua manusia-manusia tersisa.
1359819924636
Idenya memang tidak lagi baru. Premis tentang alien invasion yang menjadikan tubuh manusia sebagai inangnya sudah pernah ada sejak dulu. The Host ini seperti Invasion of the Body Snatchers dengan kadar horor yang ditekan serendah mungkin yang kemudian bertemu dengan aroma Twilight khas Mayer dengan segala romansa klise menye-menye-nya. Tetapi seperti yang sudah saya tulis di atas beruntung ia punya Adrew Niccol sebagai sutradara sekaligus penulis naskah yang tampaknya tahu betul bagaimana menghindari pengaruh buruk ‘saudaranya’ itu dan membawa narasinya jauh lebih berisi dan kompleks. Sebelumnya saya tidak pernah membaca novelnya, jadi tentu saja saya tidak membandingkan bagaimana setianya adaptasi Niccol kali ini dengan sumber aslinya, tetapi yang jelas ini adalah sebuah drama sci fi yang bagus terutama ketika Niccol sukses menghadirkan sebuah perjalanan karakter yang menarik ketimbang memfokuskan semuanya pada kisah percintaan segi banyak.
Pusat gravitasinya ada pada karakter Melanie Stryder dan Wanderer a.k.a Wanda. Menjadi menarik karena keduanya berada dalam tubuh yang sama dengan dua jiwa yang berbeda; satu manusia satu mahkluk asing,  sekilas seperti Gollum yang menderita Schizophrenia hanya saja yang terjadi di sini tidak seperti itu.  Sejak menit-menit awal yang dipenuhi dengan rangkaian flashback, Niccol sudah menancapkan pondasi cerita yang menarik, lalu ketika karkaternya memutuskan untuk melakukan pemberontakan dan kabur untuk bertemu dengan para manusia tersisa yang dipimpin Jeb Stryder (William Hurt) ia tidak pernah sampai kehilangan cengekramannya. Bagaimana berkembangnya karkater Wanda dengan dunia barunya, bagaimana ia merasakan cinta dan kebaikan itu menjadi highlight terbesar buat The Host, terlebih semuanya itu mampu didominasi oleh akting Ronan yang kuat.
Ya, ini adalah cerita tentang bagaimana kemanusiaan dan kebaikan yang datang dari sesuatu yang kamu anggap ancaman serta seperti tagline-nya, berisi banyak pilihan-pilihan besar . Klimaksnya menggetarkan dengan sebuah pengorbanan luar biasa yang sayang harus ditutup ending-nya yang terasa terlalu nyaman dan aman. Tetapi secara keseluruhan ini adalah adaptasi yang baik, bahkan lebih baik dengan keempat seri Twilight sekalipun jika digabungkan. Pesonanya ada pada sosok alien berjiwa murni yang dibawakan Ronan dengan solid, lalu ditambah naskah berisi dan penyutradaaraan Niccol yang pas plus sinematografi cantik menjadikan The Host salah satu drama sci-fi yang bagus di genrenya.

Review: Silent Hill Revelation (2012)

by : firstiawan gunawan on JULI ,07, 2013 

 


ettdach , parah banget gua review nie film tahun 2013 , padahal nie film tahun 2012 , ah udah lakh ga papa di baca aja :)

Layaknya kebanyakan film yang diadaptasi dari permainan video lainnya, Silent Hill memenuhi takdirnya ketika dirilis pada tahun 2006: film tersebut mendapatkan begitu banyak cercaan dari para kritikus film dunia. Pun begitu, seperti kebanyakan film yang diadaptasi dari permainan video lainnya, Silent Hill mampu mengumpulkan total pendapatan sebesar US$90 juta dari bujet produksi sebesar US$50 juta selama masa edarnya. Seperti biasa, Hollywood lantas merencanakan sebuah sekuel untuk Silent Hill. Direncanakan semenjak akhir 2006, proses pembuatan sekuel tersebut mendapatkan begitu banyak hambatan sebelum akhirnya proses pengambilan gambar akhirnya benar-benar dapat dimulai pada Maret 2011 dengan Michael J. Bassett (Solomon Kane, 2009) menggantikan posisi Christophe Gans sebagai sutradara.

Dengan judul Silent Hill: Revelation dan mengadaptasi kisahnya dari seri ketiga permainan video Silent Hill produksi Konami, film ini melanjutkan seri sebelumnya dimana Rose Da Silva (Radha Mitchell) berhasil menyelamatkan puterinya, Sharon (Jodelle Ferland), dari kurungan Silent Hill meskipun dirinya harus selamanya terjebak disana. Kini, Sharon yang telah beranjak remaja (Adelaide Clemens), harus hidup berpindah-pindah tempat bersama ayahnya, Christopher (Sean Bean), guna menghindari kejaran anggota sekte Order of Valtiel yang berusaha untuk mendapatkannya untuk dibawa kembali ke Silent Hill. Sharon sendiri sama sekali tidak dapat mengingat masa lalunya bersama sang ibu. Ayahnya hanya mengungkapkan bahwa ibunya tewas dalam sebuah kecelakaan.

Dalam pelarian terakhir mereka, Sharon dan Christopher kini menggunakan nama dan identitas baru mereka, Heather dan Harry Mason. Sayangnya, pelarian tersebut tidak dapat berlangsung lama. Segera setelah mereka menempati kediaman baru, para anggota sekte Order of Valtiel berhasil menemukan lokasi keduanya dan bahkan kemudian berhasil menangkap Harry. Mau tidak mau, Heather harus berusaha untuk mengingat kembali berbagai kejadian yang ia alami bersama ibunya di Silent Hill sekaligus kembali lagi ke daerah tersebut untuk menemukan ayahnya. Bersama dengan Vincent (Kit Harrington) yang baru saja ia kenal, Heather lantas memulai perjalanannya untuk memasuki kota yang selama ini menghantui mimpi  buruknya tersebut.

Sayangnya, sama sekali tidak ada yang istimewa dalam Silent Hill: Revelation. Bahkan jika dibandingkan dengan seri pertamanya terdahulu, Silent Hill: Revelation terasa jelas mengalami penurunan kualitas penceritaan yang sangat signifikan. Walau sederhana dan cenderung klise, Silent Hill setidaknya masih mampu menghadirkan plot cerita yang runut untuk diikuti para penontonnya. Sementara itu, naskah yang ditulis oleh Michael J. Bassett untuk Silent Hill: Revelation tampak hanya berusaha untuk menghadirkan momen-momen menakutkan kepada penontonnya tanpa pernah berusaha untuk menyajikannya dalam sebuah tatanan penceritaan yang apik dan mampu mengalir dengan baik.

Tidak hanya dari segi cerita, Bassett juga terkesan sangat malas untuk memberikan karakter-karakternya berbagai latar belakang kisah yang setidaknya akan cukup mampu membantu para penonton – khususnya yang tidak familiar dengan permainan video Silent Hill – untuk memahami apa sebenarnya yang coba ia ceritakan di film ini. Kelemahan ini khususnya sangat terasa ketika karakter-karakter dari sekte Order of Valtiel dihadirkan dalam jalan cerita. Kebanyakan dari karakter-karakter tersebut – yang tampil dengan diselimuti tata rias yang membingungkan atau tanpa tampilan wajah sama sekali – terkesan hanya hadir untuk memberikan faktor kengerian pada penonton dengan tanpa pernah dijelaskan mengenai esensi dari arti kehadiran karakter tersebut pada jalan cerita secara keseluruhan.

Jika ingin memandang positif terhadap Silent Hill: Revelation, maka penilaian tersebut sepertinya hanya dapat disematkan pada departemen produksi film ini yang setidaknya berhasil menata penampilan film ini untuk mampu memberikan atmosfer cerita yang kelam kepada penonton. Penggunaan teknologi 3D pada tampilan visual film ini juga mampu disajikan dengan maksimal. Dari departemen akting rasanya tidak banyak yang dapat diberikan komentar mengingat deretan karakter yang hadir dalam jalan cerita film ini hampir seluruhnya disajikan secara dangkal. Nama-nama besar seperti Sean Bean, Carrie-Anne Moss, Martin Donovan hingga Malcolm McDowell seluruhnya tampil dalam porsi penceritaan yang sia-sia.
Bahkan dengan jalan cerita yang cenderung klise dan sederhana, Silent Hill harus diakui mampu hadir sebagai sebuah sajian film horor yang berhasil tampil memikat dengan tampilan visualnya yang kuat serta jalan ceritanya yang mampu mengalir dengan baik. Sayangnya, kualitas tersebut sama sekali tidak dapat ditemukan pada Silent Hill: Revelation. Michael J. Bassett yang menggantikan posisi Christophe Gans sekaligus bertindak sebagai penulis naskah film ini sama sekali tidak mampu menghadirkan sebuah penceritaan yang menarik dengan elemen-elemen horor yang sanggup berdiri sejajar dengan seri terdahulu film ini. Di bidang tampilan visual dan penggunaan teknologi 3D, Silent Hill: Revelation bisa saja tampil unggul. Namun dengan jalan penceritaan yang terlalu datar dan jauh dari kesan menarik, Silent Hill: Revelation jelas lebih sering akan terasa membosankan daripada mampu memberikan sensasi horor yang maksimal kepada para penontonnya.

padahal gua fans dari gamenya lho nya nie film :( 
 


Review: Cinta dalam Kardus (2013)

by : firstiawan gunawan on JU;LI,07, 2013 

cinta-dalam-kardus-header

Setelah Rudi Soedjarwo (Kambing Jantan, 2009) dan Fajar Nugros (Cinta Brontosaurus, 2013), kini giliran Salman Aristo yang mencoba untuk mengeksekusi tatanan kisah komedi yang ditulis oleh Raditya Dika. Berbeda dengan kedua film sebelumnya, Cinta dalam Kardus bukanlah sebuah film yang diadaptasi dari buku karya Raditya Dika – meskipun masih tetap memperbincangkan deretan problematika cinta yang dihadapi oleh sang karakter utamanya. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Raditya Dika bersama dengan Salman Aristo – yang sebelumnya juga pernah bekerjasama dalam menuliskan naskah cerita Kambing Jantan, Cinta dalam Kardus berusaha menghadirkan sebuah sajian komedi eksperimental dimana sang karakter utamanya secara konstan berbicara kepada penonton melalui kamera sembari terus menggulirkan kisah-kisahnya. Jelas bukan sebuah penuturan komedi yang biasa untuk penonton Indonesia, namun harus diakui, mampu tergarap baik di tangan Salman Aristo dan Raditya Dika.

Menggunakan karakter-karakter yang sebelumnya telah hadir dalam serial televisi komedi karya Raditya Dika, Malam Minggu Miko, Cinta Dalam Kardus memulai kisahnya dengan kegalauan hati yang dialami oleh seorang pemuda bernama Miko (Raditya Dika) akibat hubungan asmaranya yang sedang bermasalah dengan Putri (Anizabella Lesmana). Walaupun sang sahabat, Rian (Ryan Adriandhy), telah melarangnya, namun Miko kemudian memutuskan untuk mencoba tampil dalam sebuah pagelaran standup comedy di sebuah kafe guna melupakan segala kegalauan hatinya. Keputusan buruk. Daripada mampu menghibur penonton dengan deretan guyonan yang telah ia siapkan, Miko justru bercerita tentang gadis-gadis yang dahulu pernah dekat dengannya dan barang-barang peninggalannya kini ia simpan dalam sebuah kardus. Namun, di saat yang bersamaan, Miko secara perlahan mulai belajar mengenai berbagai arti cinta yang selama ini bertentangan dengan kepercayaannya.

Gaya komedi Raditya Dika memang harus diakui berbeda dengan gaya komedi yang populer bagi penonton Indonesia – gaya komedi yang seringkali memanfaatkan kelemahan fisik orang lain, menggunakan kekerasan dan mewarnainya dengan tampilan gadis-gadis cantik berpakaian minim. Komedi a la Raditya Dika, seperti yang sering diungkapkannya, dipengaruhi secara cukup signifikan oleh tatanan komedi yang sering dihantarkan oleh Woody Allen: menggunakan dialog-dialog unik dan terdengar nyeleneh, penuh dengan referensi pop culture yang kental, karakter utama yang terkesan canggung namun tetap mengandalkan linimasa penceritaan beratmosfer romansa yang begitu kuat. Cinta Brontosaurus juga berusaha menghadirkan atmosfer komedi Woody Allen tersebut – namun gagal akibat eksekusi naskah cerita yang terlalu dangkal. Dengan bantuan Salman Aristo, Raditya Dika mampu mengeksplorasi lebih dalam naskah cerita yang ia tulis dan sebenarnya masih berbicara di wilayah penceritaan yang sama sehingga menjadi sebuah presentasi yang benar-benar cerdas sekaligus menghibur.

Keberhasilan paling utama dari Cinta dalam Kardus adalah bagaimana film ini mampu membawa para penontonnya pada perjalanan hati sang karakter utama – yang pada awalnya terkesan begitu sinis terhadap cinta namun secara perlahan mulai mengubah pandangannya akibat berbagai temuan dan interaksi yang ia jalin di sepanjang penampilannya. Keberhasilan tersebut jelas berhasil tercapai akibat kecerdasan Raditya Dika dan Salman Aristo dalam menggarap setiap karakter yang hadir dalam jalan penceritaan film ini. Karakter Miko yang terkesan datar di awal film, secara perlahan mulai terisi karakterisasinya dengan baik berkat dukungan kehadiran karakter-karakter lain yang berinteraksi dengannya. Potongan-potongan kisah asmara gagal Miko yang ditampilkan juga tidak hanya mampu menghadirkan sajian komedi yang lugas, namun juga menjadi sarana penggalian sekaligus pendalaman mengenai siapa karakter Miko yang sesungguhnya.
Eksperimen yang dilakukan oleh Raditya Dika dan Salman Aristo sendiri tidak hanya berhenti dari cara mereka menghadirkan jalan cerita Cinta dalam Kardus. Secara cerdas, keduanya lantas juga menjadikan kardus sebagai bagian penting dari film – dengan menggunakannya sebagai pembentuk properti yang ditampilkan dalam berbagai adegan percintaan di masa lalu milik karakter Miko. Aliran emosi juga semakin mampu tereksplorasi dengan baik berkat kehadiran tata musik arahan Andhika Triyadi – yang harus diakui selalu terdengar cemerlang dalam menggarap film-film bernuansa romansa. Sebuah sajian lagu berjudul You and I milik Endah N Rhesa yang tampil di pertengahan cerita juga  menjadi sebuah titik tinggi sendiri dalam aliran emosional dari jalan cerita Cinta dalam Kardus.

Meskipun kali ini menggunakan nama Miko, Raditya Dika sendiri masih hadir dalam karakter yang serupa dengan dua film yang pernah ia perankan sebelumnya. Bukan sebuah masalah besar, khususnya mengingat bahwa jalan cerita Cinta dalam Kardus mampu memanfaatkan kecanggungan yang selalu ada dalam setiap karakter yang diperankan oleh Raditya Dika secara maksimal. Karakter-karakter pendukung yang hadir harus diakui memang tidak mendapatkan porsi penceritaan yang dapat membuat setiap pemerannya mampu menampilkan penampilan akting yang mendalam. Pun begitu, nama-nama seperti Anizabella Lesmana, Dahlia Poland, Fauzan Nasrul dan Lukman Sardi mampu memberikan penampilan singkat yang cukup mencuri perhatian.

Jelas adalah sangat menyegarkan untuk menyaksikan sebuah sajian komedi yang tidak hanya berpaku pada pakem-pakem lama yang biasanya selalu tersaji dalam presentasi komedi Indonesia. Dalam Cinta dalam Kardus, Raditya Dika dan Salman Aristo berhasil menggarap secara cerdas tema penceritaan yang sebenarnya telah terlalu sering ditampilkan dalam dunia Raditya Dika sehingga mampu menjadi sebuah sajian yang tidak hanya berhasil tampil lucu dan menghibur, namun juga bergerak secara aktif dalam menyentuh sisi emosional setiap penontonnya. Dukungan kreativitas yang begitu tinggi dalam penyajian desain produksi, tata musik sekaligus penampilan para pemeran pendukung juga semakin membuat Cinta dalam Kardus tampil semakin kuat. Unik, cerdas serta tidak melupakan sentuhan sisi emosional, Cinta dalam Kardus adalah sajian komedi terbaik yang pernah hadir di industri film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir


Cinta dalam Kardus (Kompas Gramedia Studio, 2013)
Cinta dalam Kardus (Kompas Gramedia Studio, 2013)

Review: After Earth (2013)

by : firstiawan gunawan on JULI ,07,2013
after-earth-header

First of alllet’s just be clear about one thing. Melihat bagaimana kualitas presentasi cerita beberapa film M. Night Shyamalan terakhir, rasanya tidak seorangpun yang harusnya masih menantikan Shyamalan kembali hadir dengan kualitas yang serupa seperti yang pernah ia hadirkan dahulu dalam The Sixth Sense (1999). On the other hand, rasanya adalah suatu hal yang jelas pula bahwa hingga saat ini, Shyamalan sama sekali belum pernah hadir dengan kualitas film yang benar-benar buruk. Baiklah, Lady in the Water (2006), The Happening (2008) maupun The Last Airbender (2010) mungkin sulit diterima banyak orang sebagai deretan karya yang menonjol karena jalan cerita yang cenderung datar, membosankan atau gagal tergarap dengan baik. Pun begitu, harus diakui, bahkan dalam filmnya yang dianggap memiliki kualitas terlemah, Shyamalan mampu menghadirkan alur cerita serta desain produksi yang masih sanggup memberikan filmnya beberapa poin keunggulan.

And then comes After Earth… sebuah film yang naskah ceritanya ditulis oleh Shyamalan bersama Gary Whitta (The Book of Eli, 2010) berdasarkan ide cerita yang datang dari bintang utama film ini sendiri, Will Smith. Layaknya The Pursuit of Happyness (2006), yang juga dibintangi Smith bersama puteranya, Jaden Smith, After Earth memiliki potensi yang besar untuk menjadi sebuah kisah hubungan ayah dan anak yang emosional. Sayangnya, entah mengapa, pengarahan Shyamalan justru seperti terkesan menghindari kehadiran adanya unsur emosional dalam jalan cerita dengan hanya berfokus penuh pada penampilan visual serta tata produksi film ini. Hasilnya… After Earth menjadi sebuah film yang cukup meyakinkan untuk disaksikan, namun begitu hampa untuk dapat dirasakan penontonnya.

Jalan cerita After Earth sendiri, seperti yang diungkapkan narasi pada awal film ini, berada pada masa seribu tahun setelah terjadinya kerusakan lingkungan fatal pada Bumi yang diakibatkan oleh berbagai perbuatan buruk manusia. Begitu fatalnya kerusakan tersebut, Bumi menjadi sebuah lokasi yang tidak layak (dan tidak dapat) dihuni lagi sehingga memaksa umat manusia untuk pindah ke sebuah planet baru bernama Nova Prime. Kedatangan manusia ke planet tersebut bukannya tanpa diikuti masalah. Sekelompok makhluk luar angkasa yang bernama S’krell berniat untuk merebut Nova Prime dengan menyebar makhluk buas yang akrab dengan sebutan Ursa yang mampu memburu dengan menggunakan rasa ketakutan buruan mereka. Untuk mengatasi permasalahan tersbeut, koloni manusia lalu membentuk pasukan yang disebut The Ranger Corps yang bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan umat manusia di Nova Prima.

After Earth kemudian memperkenalkan dua karakter utamanya, pasangan ayah dan anak, General Cypher Raige (Will Smith) dan Kitai Raige (Jaden Smith). Keduanya memiliki hubungan yang kurang harmonis, dengan General Cypher yang bersikap terlalu kaku dalam menghadapi sang anak. Atas saran sang istri, Faia (Sophie Okonedo), guna mendekatkan keduanya, General Cypher lalu membawa Kitai dalam sebuah perjalanan tugasnya. Sial, pesawat yang ditumpangi General Cypher bersama Kitai justru menabrak deretan asteroid dalam perjalanan mereka dan membuat pesawat tersebut terpaksa melakukan pendaratan darurat di Bumi. Kini, General Cypher dan Kitai harus saling bekerjasama, menyingkirkan berbagai perbedaan dan jarak yang tercipta antara mereka, untuk dapat bertahan di Bumi serta meminta bantuan dari The Ranger Corps untuk membawa mereka kembali ke Nova Prime.

Sebagaimana layaknya sebuah film yang ditujukan untuk pangsa pasar keluarga, After Earth adalah sebuah film yang sepertinya hendak membawakan pesan mengenai bagaimana seseorang harusnya dapat mengatasi dan mengalahkan rasa takut mereka. Sebuah “pesan moral” yang cukup layak untuk disampaikan… jika saja After Earth mampu dihadirkan dengan presentasi yang menarik oleh para pemeran karakter yang membawakan berbagai pesan tersebut. Sayangnya, baik Will Smith maupun Jaden Smith harus diakui gagal dalam membawakan tugas tersebut. Jaden Smith jelas terlihat kekurangan kharisma yang kuat untuk dibiarkan berlarian sendirian di sepanjang adegan film ini. Tanpa kharisma tersebut, karakter Kitai yang diperankan oleh Jaden jelas menjadi datar dan gagal membangun hubungan emosional dengan penontonnya. Di sisi lain, sang ayah, Will, jelas merupakan aktor yang telah berpengalaman dalam film-film sejenis. Namun, After Earth justru seperti membuang-buang kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai kemampuan akting Will yang mendalam dengan membiarkannya sama sekali tidak ikut serta dalam kebanyakan adegan aksi yang dihadirkan oleh film ini. Karakter General Cypher dan Kitai yang harus terpisah di banyaki adegan film juga semakin memperkecil peluang munculnya chemistry yang tepat dan hangat antara Will dan Jaden Smith dalam film ini.

Masalah jelas tidak hanya muncul dari kedua pemeran utamanya. Naskah cerita After Earth yang ditulis oleh M. Night Shyamalan bersama dengan Gary Whitta juga harus diakui terlihat tidak pernah benar-benar menggali berbagai potensi yang ada di dalamnya. Karakter-karakter yang tampil disajikan begitu dangkal dan datar. Berbagai adegan aksi yang hadir dalam film ini juga terkesan berjalan layaknya sebuah perjalanan monoton. Eksekusi Shyamalan yang gagal untuk menghadirkan dramatisasi yang kuat dalam perjalanan tersebut juga membuat After Earth terasa berjalan lebih lama dari durasinya yang sebenarnya ‘hanya’ mencapai 100 menit. Beruntung, Shyamalan masih mampu menghadirkan kualitas tata produksi yang cukup meyakinkan sehingga After Earth tidak berakhir sebagai sebuah kegagalan penuh.

Jelas adalah sangat berlebihan untuk menyatakan bahwa After Earth sebagai sebuah presentasi yang gagal. Layaknya The Last Airbender, M. Night Shyamalan memang sepertinya telah mengetahui penuh penonton mana yang menjadi sasarannya dalam film ini. Pun begitu, tidak dapat disangkal bahwa After Earth tereksekusi dengan cukup lemah. Kehadiran tata visual yang cukup menghanyutkan, serta tata musik arahan James Newton Howard yang cukup hidup, gagal untuk menutupi berbagai kelemahan pengarahan Shyamalan yang membuat After Earth terasa berjalan begitu datar dan lamban. Dua bintang utamanya, Will dan Jaden Smith, juga gagal untuk memberikan daya tarik yang lebih kuat bagi After Earth dengan Jaden Smith hampir terlihat hadir dengan penampilan yang begitu datar di sepanjang penampilannya. Sebuah hasil yang medioker yang jelas tidak akan mampu memperbaiki kredibilitas Shyamalan secara singkat dalam waktu yang akan datang.

popcornpopcornpopcorn popcorn2popcorn2
After Earth (Columbia Pictures/Overbrook Entertainment/Blinding Edge Pictures, 2013)
After Earth (Columbia Pictures/Overbrook Entertainment/Blinding Edge Pictures, 2013)

After Earth (2013)
Directed by M. Night Shyamalan Produced by James Lassiter, Jada Pinkett Smith, Caleeb Pinkett, Will Smith Written by M. Night Shyamalan, Gary Whitta (screenplay), Will Smith (story) Starring Jaden Smith, Will Smith, Isabelle Fuhrman, Sophie Okonedo, Zoë Kravitz, David Denman, Kristofer Hivju, Gabriel Caste, Lincoln Lewis, Chris Geere Music by James Newton Howard Cinematography Peter Suschitzky Editing by Steven Rosenblum Studio Columbia Pictures/Overbrook Entertainment/Blinding Edge Pictures Running time 100 minutes Country United States Language English

Review: World War Z (2013)

by : firstiawan gunawan on JULI,07, 2013
world-war-z-header

Proses untuk membawa World War Z, yang merupakan hasil adaptasi dari novel karya Max Brooks yang berjudul World War Z: An Oral History of the Zombie War, dimulai pada tahun 2007 ketika rumah produksi milik Brad Pitt, Plan B Entertainment, membeli hak adaptasi novel tersebut. Digambarkan sebagai sebuah film thriller dengan muatan drama sosial politis yang cenderung padat, berbagai masalah mulai menghampiri proses produksi World War Z, mulai dari naskah cerita yang mengalami penulisan ulang beberapa kali, konflik yang terjadi antara Brad Pitt dengan sutradara film ini, Marc Forster (Machine Gun Preacher, 2011), hingga ketidakpuasan atas hasil akhir yang membuat World War Z harus melalui proses pengambilan gambar ulang untuk beberapa adegan yang berujung pada pengunduran masa tayang film ini yang awalnya dijadwalkan pada akhir 2012 menjadi pertengahan tahun 2013. Messy.

Meskipun begitu, apapun permasalahan yang dilalui oleh World War Z selama proses produksinya, jelas seharusnya tidak memberikan pengaruh pada kualitas akhir yang ditampilkan oleh film ini. Well… dengan dukungan penampilan Brad Pitt serta kualitas tata produksi yang cukup kuat, World War Z mampu menghadirkan menit-menit yang cukup menegangkan kepada para penontonnya. Terlepas dari keberhasilan tersebut, tidak dapat disangkal, pada banyak bagian penceritaannya, World War Z terasa hadir layaknya sebuah permainan video dengan potongan-potongan kisah perjalanan seorang karakter yang kemudian berusaha untuk disatukan… namun sayangnya sama sekali tidak pernah benar-benar mampu untuk tampil meyakinkan karena alur cerita yang tampil terlalu monoton serta deretan karakter yang hadir dengan penggalian yang begitu datar sekaligus lemah untuk membuat penonton benar-benar merasa peduli dengan keberadaan mereka di dalam jalan cerita.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Matthew Michael Carnahan, Drew Goddard dan Damon Lindelof, World War Z berkisah mengenai seorang mantan pegawai Persatuan Bangsa-Bangsa, Gerry Lane (Brad Pitt), yang harus merelakan dirinya berpisah dari istri, Karin (Mireille Enos), dan kedua puterinya, Rachel (Abigail Hargrove) dan Constance (Sterling Jerins), ketika ia dipanggil lagi oleh organisasi tersebut untuk membantu mereka dalam menangani sebuah pandemi virus yang secara cepat menyebar dan mengubah populasi manusia menjadi sekumpulan mayat hidup. Berpacu dengan waktu, Gerry memulai perjalanannya mengelilingi dunia untuk mengumpulkan berbagai petunjuk mengenai awal keberadaan virus sebelum virus tersebut akhirnya tidak dapat dikalahkan dan turut merenggut nyawa seluruh umat manusia yang ada di muka Bumi.

World War Z sebenarnya dimulai dengan penceritaan yang sangat kuat. Dibuka dengan penuh kehangatan melalui gambaran harmonisnya sebuah tatanan keluarga yang dibentuk oleh karakter Gerry dan istrinya, World War Z kemudian secara cepat berubah menjadi serangkaian mimpi buruk ketika sekumpulan manusia yang telah terinfeksi virus dan berubah menjadi mayat hidup mulai mengisi alur cerita. Dengan dukungan tata sinematografi arahan Ben Seresin dan tata musik karya Marco Beltrami – yang sepertinya mengadaptasi suara familiar yang biasa dihasilkan Hans Zimmer – dengan bantuan komposisi musik dari band asal Inggris, Muse, Marc Forster berhasil menyusun adegan pembukaan World War Z tampil begitu menegangkan meskipun sama sekali tidak pernah berusaha mengeksploitasi kehadiran darah dan potongan anggota tubuh manusia dalam adegan-adegannya.

Alur penceritaan World War Z terasa stagnan dan berjalan monoton ketika karakter Gerry Lane dikisahkan memulai perjalanan keliling dunianya dalam mengumpulkan berbagai bukti mengenai awal keberadaan virus pembunuh tersebut. Dimulai dari Korea Selatan, Israel hingga Wales, perjalanan karakter Gerry dihadirkan dengan pola yang sama: menjumpai beberapa karakter yang dianggap dapat membantu penyelidikannya sebelum akhirnya pergi terburu-buru dari tempat tersebut ketika kawanan mayat hidup kembali menyerangnya. Tidak sepenuhnya buruk. Namun perpindahan dari satu lokasi cerita ke cerita lainnya terasa seperti pengulangan bagian cerita tanpa pernah mampu menghadirkannya dengan penggalian yang kuat serta karakter-karakter yang dapat membuat petualangan tersebut menjadi lebih dramatis. Kehadiran ending penceritaan yang terasa berakhir begitu saja juga semakin membuat naskah cerita World War Z terasa gagal untuk mengembangkan potensi yang sebenarnya mampu membuat film ini berada di kelas yang berbeda jika dibandingkan dengan film-film sejenis.

Kelemahan World War Z lainnya terletak pada dangkalnya fungsi kebanyakan karakter yang hadir dalam presentasi cerita film ini. Untuk sebuah jalan penceritaan yang berusaha untuk menghadirkan tragedi serbuan mayat hidup sebagai sebuah realita, World War Z terasa terlalu mengagungkan karakter utamanya, Gerry Lane, dan menjadikannya sebagai satu karakter pahlawan super yang sama sekali tidak memiliki kelemahan. Untuk alasan yang sama pula, karakter-karakter pendukung yang berada di sekitar karakter utama sama sekali tidak pernah diberikan porsi penceritaan yang memadai atau bahkan terasa berguna kehadirannya di dalam jalan cerita – tidak karakter-karakter rekan kerjanya, orang-orang yang ia temui dalam perjalanan dan bahkan karakter-karakter keluarga yang digambarkan begitu ia perhatian mampu diberikan koneksi penceritaan yang kuat. Hal ini yang membuat banyak penampilan dari para pengisi departemen akting World War Z yang sebenarnya begitu berkualitas tetap gagal untuk membuat penonton merasa benar-benar peduli dengan keberadaan mereka. Penonton hanya disuguhkan deretan adegan menegangkan tentang usaha karakter Gerry Lane menghindari serbuan kumpulan mayat hidup tanpa pernah benar-benar merasa terhubung secara emosional dengan dirinya.

World War Z jelas jauh dari kesan buruk. Keberadaan nama-nama Matthew Michael Carnahan, Drew Goddard dan Damon Lindelof dibelakang penulisan naskah World War Z jelas telah memberikan pengaruh kuat pada tingkat kecerdasan film – yang membuatnya terasa bagaikan paduan Contagion (2012) dan versi global dari penceritaan 28 Days Later… (2002). Arahan Marc Forster juga mampu menjadikan film ini tampil cukup berbeda dari kebanyakan film-film sejenis, baik dari segi tampilan visual maupun pendekatan ceritanya. Walaupun begitu, dari perkembangan kecerdasan yang berada di garisan penceritaan, World War Z justru seperti melupakan kehadiran sisi emosional yang membuat film ini terasa menegangkan pada banyak adegannya namun sama sekali tidak pernah mampu membuat penontonnya terlibat secara emosional kepada jalan cerita yang sedang mereka ikuti.  Masih layak untuk disaksikan walau jelas terasa kurang mendapatkan pendalaman kisah yang lebih kuat.

popcornpopcornpopcornpopcorn2popcorn2
World War Z (Plan B Entertainment/Apparatus Productions GK Films/Hemisphere Media Capital/Latina Pictures/Paramount Pictures/Skydance Productions, 2013)
World War Z (Plan B Entertainment/Apparatus Productions/GK Films/Hemisphere Media Capital/Latina Pictures/Paramount Pictures/Skydance Productions, 2013)

World War Z (2013)
Directed by Marc Forster Produced by Ian Bryce, Dede Gardner, Jeremy Kleiner, Brad Pitt Written by Matthew Michael Carnahan, Drew Goddard, Damon Lindelof (screenplay), Matthew Michael Carnahan, J. Michael Straczynski (story) Max Brooks (novel, World War Z: An Oral History of the Zombie WarStarring Brad Pitt, Mireille Enos, Fana Mokoena, Daniella Kertesz, James Badge Dale, David Morse, Ludi Boeken, Abigail Hargrove, Sterling Jerins, Fabrizio Zacharee Guidoas, Matthew Fox, Peter Capaldi, Pierfrancesco Favino, Ruth Negga, Moritz Bleibtreu, Ernesto Cantu, David Andrews, Elyes Gabel, Lucy Aharish, Julia Levy-Boeken Music by Marco Beltrami Cinematography Ben Seresin Editing by Roger Barton, Matt Chesse Studio Plan B Entertainment/Apparatus Productions/GK Films/Hemisphere Media Capital/Latina Pictures/Paramount Pictures/Skydance Productions Running time 116 minutes Country United Sta

Review: Man of Steel (2013)

by :firstiawan gunawan on JULI,07, 2013
Man-of-Steel-header

Pertanyaan terbesar bagi kehadiran Man of Steel adalah jelas: Apakah keberadaan Christopher Nolan di belakang karakter pahlawan milik DC Comics ini mampu memanusiawikan karakter Superman seperti halnya yang pernah ia lakukan pada Batman melalui trilogi The Dark Knight (2005 – 2012)? Wellit worksat times. Bersama dengan penulis naskah David S. Goyer – yang juga merupakan penulis naskah dari trilogi The Dark Knight, Nolan mampu menyajikan sosok Kal-El/Clark Kent/Superman sebagai sosok yang membumi – meskipun Man of Steel dengan jelas menonjolkan sang pahlawan sebagai seorang yang asing di muka Bumi. Arahan sutradara Zack Snyder juga cukup berhasil membuat Man of Steel hadir sebagai sebuah presentasi film aksi yang mumpuni. Namun, dalam perjalanan untuk mengisahkan kembali masa lalu serta berbagai problema kepribadian yang dimiliki oleh Kal-El/Clark Kent/Superman tersebut, Man of Steel sayangnya hadir dengan karakter-karakter yang kurang tergali dengan baik, alur penceritaan yang terburu-buru serta – seperti kebanyakan film arahan Snyder lainnya, berusaha berbicara terlalu banyak namun gagal tereksekusi dengan baik.
Man of Steel is the Batman Begins of this newly rejuvenated franchise. So it’s basically Superman Begins. A new beginning. A reboot. Dikisahkan, Superman, yang oleh orangtua kandungnya, Jor-El (Russell Crowe) dan Lara Lor-Van (Ayelet Zurer), diberi nama Kal-El, terlahir di sebuah planet bernama Krypton di masa-masa planet tersebut sedang menghadapi dua masalah besar: Krypton berada di ambang kehancuran dan pimpinan militer planet tersebut, General Zod (Michael Shannon), sedang melakukan kudeta terhadap para pemimpin planet – yang kemudian berusaha digagalkan Jor-El. Jor-El dan Lara Lor-Van sendiri kemudian mengirimkan Kal-El ke Bumi demi keselamatan sang anak. General Zod yang mengetahui rencana tersebut kemudian bersumpah untuk mencari Kal-El dan membalaskan dendamnya.

Sesampainya di Bumi, Kal-El kemudian diadopsi oleh pasangan petani, Jonathan (Kevin Costner) dan Martha Kent (Diane Lane), dan memberinya nama Clark Kent (Cooper Timberline/Dylan Sprayberry/Henry Cavill). Meskipun Pa Kent berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan identitas Clark Kent yang sesungguhnya, namun secara perlahan, Clark Kent mulai menyadari bahwa dirinya memiliki sebuah kekuatan berbeda dari manusia biasa yang sekaligus membuatnya terasing dari pergaulan luas. Dari titik tersebut, Clark Kent memulai perjalanan untuk mulai mencari siapa jati dirinya yang sesungguhnya. Di saat yang bersamaan, General Zod akhirnya bisa mengendus lokasi keberadaan sosok yang paling dicarinya selama ini dan mulai mengerahkan pasukannya untuk menangkap Kal-El/Clark Kent.

Momen-momen keemasan Man of Steel jelas berada di bagian awal dan akhir film – plot yang bercerita mengenai kondisi planet Krypton serta momen ketika Superman akhirnya berhadapan dengan General Zod. Sementara itu, bagian pertengahan film, yang seharusnya menjadi elemen krusial bagi pembangunan ikatan emosional jalan cerita film ini kepada para penontonnya, hadir dengan penceritaan yang kurang mampu tertata dengan baik. Bagian tersebut memang dihadirkan sebagai alat untuk penyampaian kisah mengenai bagaimana karakter Clark Kent menjalani masa pertumbuhannya sebagai warga Bumi serta perkembangan psikologis sang pahlawan dalam menemukan kekuatannya. Sayangnya, Man of Steel seperti berusaha untuk merangkum banyak kisah kehidupan sang karakter namun gagal untuk dipresentasikan dengan memuaskan – lebih sering terasa sebagai kilasan kehidupan karakter Clark Kent daripada sebagai sebagai sebuah narasi lengkap. Sebuah keterburu-buruan yang menghilangkan kesempatan penonton untuk mengenal karakter Superman secara lebih mendalam sekaligus meminimalisir keterlibatan Kevin Costner dan Diane Lane yang sebenarnya tampil cukup emosional di dalam jalan cerita.

Jalan cerita Man of Steel mulai terasa kembali terorganisir dengan cukup baik ketika film ini beralih pada paruh ketiga penceritaan dimana karakter Superman dan General Zod akhirnya saling berhadapan. Meskipun terdapat beberapa inkonsistensi – karakter Superman menyarankan seorang penduduk untuk masuk ke rumahnya agar lebih aman namun di saat yang sama kemudian dengan leluasa menghancurkan berbagai gedung yang pastinya berisi banyak umat manusia saat ia sedang bertarung dengan General Zod, namun Snyder mampu menggambarkan berbagai kekacauan yang hadir di sepanjang adegan pertarungan tersebut dengan baik sekaligus meningkatkan intensitas jalan cerita yang terlanjur melempem di paruh kedua. Dukungan tata sinematografi arahan Amir Mokri dan tata musik Hans Zimmer – yang terdengar begitu familiar – juga semakin mendukung kepadatan intensitas film ini.

Berbicara mengenai pengarahan Snyder… well… rasanya sangat jelas bahwa Snyder dalam Man of Steel terkesan hanyalah sebagai boneka bagi Christopher Nolan: ia cukup bertugas sebagai pengeksekusi dari berbagai langkah penceritaan yang telah disediakan Nolan dan David S. Goyer untuknya – yang sebenarnya juga mengikuti deretan pola penceritaan mereka pada trilogi The Dark Knight terdahulu. Mereka yang mengikuti karir Snyder pasti dapat merasakan bahwa Snyder meninggalkan seluruh gaya khas pengarahan filmnya. Di sisi lain, melihat kehadiran Snyder tanpa berbagai ciri khas visual pengarahannya, bukankah adalah sangat miris untuk menyadari bahwa Snyder adalah seorang sutradara dengan visi serta kemampuan pengarahan cerita yang… dangkal?

Henry Cavill sendiri memberikan penampilan yang sangat memuaskan sebagai Clark Kent/Superman. Tidak hanya memiliki penampilan fisik yang tampan sekaligus gagah, Cavill juga mampu menghadirkan kharisma seorang good old fashioned boy next door yang memang telah menjadi karakteristik seorang Clark Kent/Superman secara alami. Kemampuan akting Cavill juga jelas tidak mengecewakan – ia mampu menghidupkan karakter yang ia perankan dengan baik tanpa pernah terasa berlebihan dalam menginterpretasikan sosok pahlawan super yang ia bawakan. Kombinasi kualitas tersebut secara mudah menjadikan Cavill sebagai pemeran Clark Kent/Superman yang paling berkharisma setelah Christopher Reeve.
Penampilan Cavill di departemen akting juga didukung dengan nama-nama yang jelas tidak perlu diragukan lagi kualitasnya. Sebagai karakter antagonis utama, Michael Shannon berhasil hadir dengan penampilan watak yang memikat. Terkesan seperti penampilan kelas dua dari karakter John Givings yang ia perankan di Revolutionary Road (2008) but stillit works. Meskipun hadir dalam porsi penceritaan yang terbatas, Kevin Costner dan Diane Lane mampu memberikan penampilan yang cukup emosional. Sama halnya dengan Amy Adams, yang seperti biasa, dengan mudah menyerap masuk ke dalam setiap karakter yang ia perankan – meskipun harus diakui chemistry yang ia jalin bersama Cavill masih terasa goyah di beberapa bagian. Russell Crowe juga tidak mengecewakan dalam perannya sebagai Jor-El walaupun harus diakui masih sering terlihat datar sementara Lauren Fishburne sayangnya tampil begitu sia-sia dengan perannya sebagai Perry White yang begitu terbatas ruang gerak dan perannya.

Mungkin jika Christopher Nolan dan David S. Goyer tidak terlalu bergantung dengan formula penceritaan yang telah pernah diaplikasikan sebelumnya oleh trilogi The Dark Knight dan memberikan ruang gerak yang lebih luas pada Zack Snyder, Man of Steel akan mampu tampil lebih mengesankan. Kecuali pada pendekatan yang lebih mengarah sebagai sebuah petualangan fiksi ilmiah, Man of Steel nyaris sama sekali tidak memberikan sesuatu yang baru pada presentasi ceritanya. Pemilihan Henry Cavill sebagai pemeran Clark Kent/Superman jelas layak untuk mendapatkan kredit lebih – hal yang sama juga berlaku dengan pemilihan deretan pengisi jajaran pemeran lainnya. Namun pengelolaan drama tentang pergulatan masa lalu sang pahlawan super yang berjalan terlalu datar dengan karakter-karakter pendukung yang kurang mampu tergali dengan baik yang akhirnya membuat Man of Steel terasa begitu dingin layaknya… well… potongan logam besi. Sebuah usaha yang kuat… tetapi masih belum mampu untuk tampil istimewa.

popcornpopcornpopcornpopcorn3popcorn2
Man of Steel (Warner Bros./Legendary Pictures/A Syncopy Production/DC Entertainment/Third Act Productions, 2013)
Man of Steel (Warner Bros./Legendary Pictures/A Syncopy Production/DC Entertainment/Third Act Productions, 2013)
Man of Steel (2013)

Directed by Zack Snyder Produced by Christopher Nolan, Charles Roven, Deborah Snyder, Emma Thomas Written by David S. Goyer (screenplay), David S. Goyer, Christopher Nolan (story), Jerry Siegel, Joe Shuster (comics, SupermanStarring Henry Cavill, Amy Adams, Michael Shannon, Kevin Costner, Diane Lane, Laurence Fishburne, Russell Crowe, Antje Traue, Ayelet Zurer, Connie Nielsen, Harry Lennix, Christopher Meloni, Richard Schiff, Dylan Sprayberry, Cooper Timberline, Rebecca Buller Music by Hans Zimmer Cinematography Amir Mokri Editing by David Brenner Studio Warner Bros./Legendary Pictures/A Syncopy Production/DC Entertainment/Third Act Productions Running time 143 minutes Country United States Language English

Review: Monsters University (2013)

by:firstiawan gunawan on JULI ,07,2013

monsters-university-header

When it comes to Pixar Animation Studios, everyone comes with an unreasonable high expectation. Tidak salah. Semenjak memulai petualangan mereka dengan Toy Story (1995) dan kemudian menghadirkan film-film semacam Finding Nemo (2003), The Incredibles (2004), Ratatouille (2007), WALL·E (2008), Up (2009) hingga Toy Story 3 (2010) yang tidak hanya menjadi favorit banyak penonton namun juga mengubah cara pandang kebanyakan orang terhadap film animasi, Pixar Animation Studios telah menjadi artis standar tersendiri atas kualitas produksi sebuah film animasi. Tidak mengherankan jika ketika Pixar Animation Studios merilis film-film seperti Cars 2 (2011) dan bahkan Brave (2012) yang berkualitas menengah (baca: cukup menghibur namun jauh dari kesan istimewa), banyak penonton yang mulai meragukan konsistensi rumah produksi yang kini berada di bawah manajemen penuh Walt Disney Pictures tersebut dalam kembali menghadirkan film-film animasi yang berkelas. Not wrongbut quite silly.

Sebagai sedikit pengingat: Pixar Animation Studios sama sekali belum pernah menghasilkan film-film yang berkualitas benar-benar buruk. Jika Cars (2006), Cars 2 ataupun Brave dirilis oleh rumah produksi animasi lainnya, tiga film animasi tersebut kemungkinan besar akan mendapatkan kredit lebih atas kekuatan penceritaannya. AnywayMonsters University, yang merupakan prekuel dari Monsters, Inc. (2001), juga sepertinya akan mendapatkan reaksi yang sama dengan tiga film tersebut. Harus diakui, Monsters University hadir dengan kualitas penceritaan yang biasa saja – bahkan, jika dibandingkan dengan film pendahulunya, Monsters University terasa kehilangan begitu banyak sentuhan humanisnya. Tapi apakah hal tersebut membuat Monsters University menjadi sebuah presentasi yang buruk? Hardly. Mungkin terasa terlalu familiar, namun film arahan Dan Scanlon ini jelas masih memiliki banyak taji yang akan mampu membuat banyak penonton merasa jatuh cinta pada karakter Mike dan Sully – bahkan jika mereka belum pernah menyaksikan Monsters, Inc..

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Scanlon bersama Daniel Gerson dan Robert L. Baird, Monsters University membawa kembali penontonnya ke masa dimana Michael “Mike” Wazowski (Billy Crystal) baru saja memasuki masa perkuliahannya di Monsters University dalam memenuhi impiannya di masa kecil untuk menjadi seorang monster yang mampu memberikan rasa takut kepada anak-anak kecil. Permasalahan utamanya adalah… Mike sama sekali tidak memiliki kondisi fisik yang menakutkan. Hasilnya, meskipun Mike dengan mudah menyerap berbagai ilmu mengenai tata cara menakuti seorang anak dengan baik, Mike tetap dipandang sebelah mata oleh dekannya, Dean Hardscrabble (Helen Mirren), serta kebanyakan rekan-rekan mahasiswa lainnya.

Berbeda dengan Mike, James P. “Sully” Sullivan (John Goodman) terlahir dari klan monster yang telah terkenal kelegendarisannya dalam hal menghasilkan rasa takut. Bahkan tanpa mempelajari berbagai trik menakuti yang diberikan di Monsters University, Sully dapat dengan mudah menakuti setiap anak kecil yang ia jumpai dengan raungannya dengan tegas dan kuat. Dengan perbedaan tersebut diantara mereka, jelas dapat dimengerti mengapa Mike dan Sully awalnya begitu saling tidak menyukai satu sama lain. Namun, ketika Dean Hardscrabble kemudian memberikan mereka sebuah tantangan yang dapat mengancam posisi mereka di Monsters University, Mike dan Sully terpaksa harus menyingkirkan perbedaan mereka dan mulai saling bekerjasama untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut.

Well… memang benar… Sama sekali tidak ada yang istimewa dalam jalan penceritaan Monsters University – yang pada dasarnya merupakan kisah perseteruan antara kelompok jocks dan nerds di bangku kuliah yang kemudian mendapatkan penyesuaian cerita untuk dihadirkan bagi para penonton muda. Konsep-konsep mengenai dunia monster yang pernah disajikan dalam Monsters, Inc. jelas tidak lagi menjadi kejutan cerdas ketika kembali dihadirkan dalam Monsters University. Dan jika Anda adalah salah satu penonton yang mengharapkan untuk mendapatkan sentuhan emosional yang memuncak – sehingga dapat membuat Anda menangis – ketika memilih untuk menyaksikan Monsters University, maka Anda kemungkinan besar akan kecewa dengan presentasi Dan Scanlon untuk film ini. Benar bahwa Monsters University adalah sebuah film tentang rasa persahabatan dan berbagai hal yang terjadi di dalamnya, namun Scanlon sepertinya lebih memilih untuk berfokus pada sisi bersenang-senang dari rasa persahabatan tersebut daripada menghadirkan sebuah usaha untuk membuat penontonnya menangis akibat rasa haru.

Tapi, sekali lagi, Monsters University, bukanlah sebuah presentasi yang buruk dan jelas akan sulit untuk dibenci oleh penontonnya. Seperti halnya film-film hasil produksi Pixar Animation Studios, Monsters University masih dilengkapi dengan tampilan visual yang begitu memikat. Semenjak lama, Pixar Animation Studios memang telah berhasil mengaburkan (bahkan menghapus) batas antara sebuah film animasi dengan sebuah film live-action – realitas dan ilusi. Hal yang sama juga terjadi pada Monsters University. Meskipun penonton disajikan dengan karakter-karakter yang begitu berwarna dan jelas tidak akan pernah hadir dalam kehidupan nyata, adalah sangat mudah untuk terlupa bahwa presentasi yang sedang tersaji adalah sebuah film animasi akibat kemampuan Pixar Animation Studios dalam menghadirkan detil gambar yang memukau serta tata kamera yang begitu hidup dalam mengikuti setiap pergerakan karakternya.

Kemampuan Scanlon bersama Daniel Gerson dan Robert L. Baird dalam menghadirkan dialog-dialog yang cukup cerdas serta dipenuhi deretan humor yang terasa segar dan menghibur juga layak diberikan kredit lebih. Dan yang terlebih utama, para pengisi suara Monsters University berhasil memberikan kehidupan yang begitu kuat bagi setiap karakter yang mereka sajikan. Billy Crystal dan John Goodman kembali memerankan karakter Mike dan Sully dan hadir dengan chemistry yang begitu terasa erat. Helen Mirren mampu tampil sinis sebagai Dean Hardscrabble. Begitu juga dengan Steve Buscemi yang mengisisuarakan karakter Randall “Randy” Boggs yang dalam Monsters University diberikan sedikit kisah latar belakang mengapa ia menjadi sosok yang antagonis nantinya dalam Monsters, Inc..

Dan masih layaknya film-film persembahan Pixar Animation Studios lainnya, Monsters University juga dibuka dengan kehadiran sebuah film pendek yang berjudul The Blue Umbrella arahan Saschka Unseld. Berbeda dengan film-film pendek produksi Pixar Animation Studios sebelumnya, The Blue Umbrella menghadirkan teknik animasi yang diterapkan pada rekaman fotografi nyata. Sayangnya, meskipun merupakan sebuah keberhasilan teknis yang sangat menawan – serta ditemani dengan tata musik arahan Jon Brion yang begitu menghipnotis, The Blue Umbrella kurang mampu hadir dalam kualitas penceritaan yang istimewa. It’s nice but otherwise quite forgettable.

Pada akhirnya, adalah sangat mudah untuk memberikan penilaian sesaat bagi Monsters University: Anda akan menganggapnya remeh karena tidak sesuai dengan standar tinggi film-film produksi Pixar Animation Studios sebelumnya yang telah Anda tetapkan sendiri atau Anda hanya cukup menikmatinya dan mengalir dengan segala kekonyolan yang dihadirkan Dan Scanlon dalam presentasi Monsters University. Tidak mudah untuk menyingkirkan ekspekstasi tinggi pada sebuah film karya Pixar Animation Studios, tapi ketika Anda berhasil melakukannya, Monsters University akan cukup mampu menghadirkan waktu-waktu yang sangat menyenangkan untuk setiap penontonnya.

popcornpopcornpopcorn popcorn3 popcorn2
Monsters University (Pixar Animation Studios/Walt Disney Pictures, 2013)
Monsters University (Pixar Animation Studios/Walt Disney Pictures, 2013)

Monsters University (2013)
Directed by Dan Scanlon Produced by Kori Rae Written by Daniel Gerson, Robert L. Baird, Dan Scanlon (screenplay), Dan Scanlon, Daniel Gerson, Robert L. Baird (story) Starring Billy Crystal, John Goodman, Steve Buscemi, Joel Murray, Sean Hayes, Dave Foley, Peter Sohn, Charlie Day, Helen Mirren, Alfred Molina, Nathan Fillion, Aubrey Plaza, Tyler Labine, John Krasinski, Bonnie Hunt, Bill Hader, Bobby Moynihan, Julia Sweeney, Beth Behrs, Bob Peterson, John Ratzenberger, Noah Johnston Music by Randy Newman Cinematography Matt Aspbury, Jean-Claude Kalache Editing by Greg Snyder Studio Pixar Animation Studios/Walt Disney Pictures Running time 103 minutes Country United States Language English

Review: The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 (2012)





by: firstiawan gunawan on JULI,,07, 2013


o… this is the end. Hold your breath and count to ten. No… seriously. Franchise James Bond masih akan ada untuk puluhan tahun mendatang. Namun, kecuali jika Hollywood kemudian berusaha untuk mengambil keuntungan komersial tambahan dengan melakukan reboot atau mengadaptasi novel karya Stephanie Meyer menjadi sebuah serial televisi, maka The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 akan menjadi kali terakhir dunia dapat menyaksikan kisah percintaan antara Bella Swan dan Edward Cullen di layar lebar – yang tentu akan menjadi momen yang sangat menyedihkan bagi beberapa orang dan… momen yang patut untuk dirayakan bagi sebagian orang lainnya. Pun begitu, sebenci apapun Anda terhadap keberadaan franchise ini, rasanya adalah tidak mungkin untuk menyangkal bahwa keberadaan sutradara Bill Condon semenjak The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 1 mampu memberikan perubahan yang menyegarkan pada franchise ini. Dan untuk menyelesaikan tugasnya, Condon ternyata mampu memberikan kejutan yang sangat, sangat manis pada The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2. Sebuah kejutan yang sebenarnya telah lama ditunggu kehadirannya dan, untungnya, mampu dieksekusi dengan sempurna.
Melanjutkan kisah yang terputus pada The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 1, setelah hampir meninggal dunia ketika sedang melahirkan anak hasil pernikahannya dengan Edward Cullen (Robert Pattinson), Bella Swan (Kristen Stewart) kini telah berubah sepenuhnya menjadi seorang vampir – sebuah situasi yang ternyata sangat dinikmati oleh Bella. Ia kini merasa lebih hidup dari sebelumnya: ia memiliki tenaga fisik yang lebih kuat, kemampuan indera yang lebih tajam serta… ehmmm… gairah seksual yang kini tidak lagi harus disembunyikannya. Kehidupan baru Bella juga semakin diperlengkap kehadiran puterinya, Renesmee (Mackenzie Foy), yang beranjak dewasa dengan cepat, keluarga Cullen yang menerimanya dengan begitu baik, terjalinnya kembali hubungan antara dirinya dengan sang ayah, Charlie Swan (Billy Burke), serta sahabatnya, Jacob Black (Taylor Lautner), yang ternyata mampu menerima kenyataan bahwa dirinya kini telah menjadi milik orang lain.
Sayang, masa-masa indah awal pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Ketika salah seorang anggota kelompok vampir, Irina (Maggie Grace), melihat Renesmee dan menyangkanya sebagai seorang anak yang masih memiliki sifat manusia – sebuah hal yang sangat terlarang di kalangan vampir, ia lantas melaporkannya kepada pihak Volturi. Mengetahui hal tersebut, keluarga Cullen lalu berusaha untuk mengumpulkan seluruh klan vampir dari seluruh penjuru dunia agar dapat menyaksikan sendiri bahwa Renesmee adalah merupakan sosok vampir asli dan bukanlah seorang anak manusia yang diubah menjadi vampir seperti yang disangkakan Irina. Pun begitu, pimpinan Volturi, Aro (Michael Sheen), ternyata memang telah memiliki niat buruk terhadap klan Cullen sehingga apapun alasan yang dikemukakan oleh mereka… pihak Volturi siap untuk memeranginya.

Jangan khawatir. Seperti beberapa seri sebelumnya, The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 masih memiliki beberapa momen yang seringkali dirasakan kurang begitu esensial untuk ditampilkan, namun akhirnya disajikan dengan durasi yang terkesan dipanjang-panjangkan. Pun begitu, ketika konflik utama film ini mulai mengambil tempatnya, The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 secara perlahan mulai menemukan ritme penceritaannya yang sangat meyakinkan. Selain kisah konflik yang meruncing antara keluarga Cullen dengan klan Volturi, The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 juga mampu terasa lebih berwarna karena, untuk pertama kalinya, jalan cerita film seri ini sama sekali tidak berfokus pada kisah segitiga antara karakter Edward Cullen – Bella Swan – Jacob Black maupun dialog-dialog mesra – dan cenderung beraroma seksual – yang terjadi antara pasangan Edward Cullen dan Bella Swan. Bravo!
Dalam waktu yang lebih singkat dari The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 1, jalan cerita The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 kemudian mengenalkan deretan panjang karakter-karakter minor dengan peran dan latar belakang yang bervariasi. Walaupun kisah karakter-karakter minor ini dihadirkan dalam tempo cerita yang minim, secara mengesankan, Bill Condon mampu menggali kisah mereka dengan begitu baik. Ditambah dengan pemberian porsi penceritaan yang lebih besar terhadap klan Volturi, Condon mampu mengolah deretan kisah pendukung tersebut menjadi sokongan yang kuat bagi jalan cerita utama The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2.

Dan tentu saja… setelah sekian lama menunggu, Condon akhirnya mewujudkan impian banyak orang untuk menyaksikan kehadiran adegan kekerasan dan penuh darah – well… figuratively speaking, not literally – dalam seri franchise The Twilight Saga. Adegan pertarungan yang terbentuk antara klan Volturi dan keluarga Cullen serta deretan vampir dan werewolves yang mendukung mereka mampu dieksplorasi Condon dengan sangat, sangat menegangkan dan dipenuhi dengan begitu banyak aliran emosional. Sulit untuk membayangkan bahwa banyak orang harus menunggu selama empat tahun dan empat film sebelum akhirnya mampu benar-benar merasa terhibur dengan kehadiran franchise ini… but yahThe Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 jelas adalah sebuah hiburan yang sangat menyenangkan.
Di departemen akting, setiap pemeran film ini sepertinya telah benar-benar mampu dengan karakter yang mereka perankan. Mulai dari Robert Pattinson, Kristen Stewart – yang juga untuk pertama kali hadir dengan penampilan emosional yang lebih bervariasi – bahkan Taylor Lautner turut berhasil menampilkan performa akting yang wajar. Dari jajaran pemeran pendukung, rasanya tidak akan ada yang merasa kecewa dengan penampilan antagonis dari Michael Sheen dan Dakota Fanning. Beberapa nama, seperti Lee Pace, Maggie Grace, Billy Burke dan Peter Facinelli berhasil tampil lebih kuat dibandingkan dengan jajaran pemeran pendukung lainnya meskipun dengan porsi penceritaan yang sama minimnya.

Tata produksi The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 juga menghadirkan tata produksi yang lebih baik dari seri-seri sebelumnya. Sinematografi karya Guillermo Navarro berhasil menghadirkan pilihan-pilihan gambar yang begitu indah sekaligus kuat secara emosional. Begitu juga dengan tata musik arahan Carter Burwell yang melanjutkan kesuksesannya dalam mengarahkan musik seri ini pada Twilight (2008) dan The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 1 (2010). Condon juga menghadirkan segmen spesial yang menghadirkan seluruh jajaran pemeran The Twilight Saga semenjak seri pertamanya dengan diiringi lagu A Thousand Years, Pt. 2 dari Christina Perri dan Steve Kazee. Cukup memberikan banyak memori yang hangat mengenai keberadaan franchise ini semenjak kehadirannya empat tahun lalu.

So… yah… this is it. The Twilight Saga akhirnya memberikan penampilan finalnya. Beruntung, dibawah kepimpinan Bill Condon, dua seri terakhir The Twilight Saga mampu memberikan deretan perubahan yang menyenangkan. Puncaknya, The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 mampu dikemas menjadi sebuah sajian yang begitu memuaskan. Condon mampu mendapatkan penampilan terbaik dari jajaran pemerannya, tata produksi yang meyakinkan serta kemampuan untuk memaksimalkan jalan cerita yang memang banyak terisi momen-momen yang terkesan begitu cheesy. The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 jelas merupakan bagian terbaik dari franchise ini secara keseluruhan. Sebuah persembahan maksimal sebagai seri akhir franchise yang kemungkinan besar bahkan akan mampu memuaskan mereka yang semenjak lama membenci seri ini. So long, Bella! So long, Edward! So long, Jacob! Thank you for… yeah… those cheesy sweet memories.

The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 (Lionsgate/Summit Entertainment, 2012)

The Twilight Saga: Breaking Dawn – Part 2 (2012)
Directed by Bill Condon Produced by Wyck Godfrey, Karen Rosenfelt, Stephenie Meyer Written by Melissa Rosenberg (screenplay), Stephanie Meyer (novel, Breaking Dawn) Starring Kristen Stewart, Robert Pattinson, Taylor Lautner, Mackenzie Foy, Ashley Greene, Maggie Grace, Jamie Campbell Bower, Michael Sheen, Nikki Reed, Kellan Lutz, Dakota Fanning, Jackson Rathbone, Christopher Heyerdahl, Peter Facinelli, Billy Burke, Lee Pace, Christian Serratos, Elizabeth Reaser, MyAnna Buring, Noel Fisher, Joe Anderson, Cameron Bright, Angela Sarafyan, Aldo Quintino, Rami Malek, Booboo Stewart, Daniel Cudmore, Christian Camargo, Mía Maestro, Ty Olsson, Alex Meraz, Judith Shekoni, Charlie Bewley, JD Pardo, Julia Jones, Lateef Crowder, Andrea Powell, Toni Trucks, Casey LaBow, Andrea Gabriel, Austin Naulty, Kiowa Gordon, Chaske Spencer, Bronson Pelletier, Marisa Quinn, Omar Metwally, Valorie Curry, Tracey Heggins, Marlane Barnes, Guri Weinberg, Erik Odom, Lisa Howard, Bill Tangradi, Patrick Brennan, Amadou Ly, Janelle Froehlich, Masami Kosaka Music by Carter Burwell Cinematography Guillermo Navarro Editing by Virginia Katz Studio Lionsgate/Summit Entertainment Running time 116 minutes Country United States Language English